top of page

Akankah IHSG Cetak "All Time High" Baru Lagi, Tembus 7.000?



Semarang, PT Kontak Perkasa - Pasar keuangan dalam negeri terpantau cerah bergairah pada pekan lalu. Di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah kompak positif sedangkan harga obligasi pemerintah juga terpantau menguat secara mayoritas.


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak 1,13% secara point-to-point pada pekan lalu. Pada Jumat (18/02/2022) lalu, IHSG ditutup melesat 0,84% ke level 6.892,818 bahkan lagi-lagi mencetak rekor penutupan tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) pada pekan lalu.


Meski melesat dan mencetak ATH baru, tetapi nilai transaksi bursa pada pekan lalu malah turun menjadi Rp 62,17 triliun, dari pekan sebelumnya sebesar Rp 67,99 triliun. Volume perdagangan mencapai 131,36 miliar dan ditransaksikan sebanyak 7,83 juta kali.


Tak hanya nilai transaksinya yang turun, investor asing juga mencatatkan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 131 miliar pada pekan lalu.


Sedangkan dari pasar mata uang dalam negeri, kinerja rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu juga terpantau cukup positif. Meskipun kini masih berada di kisaran level Rp 14.300.


Menurut data Refinitiv, rupiah menguat 0,17% ke posisi Rp 14.325/US$ secara point-to-point pada pekan lalu. Namun pada perdagangan akhir pekan lalu, rupiah tercatat melemah tipis 0,07% dihadapan sang greenback (dolar AS).


Tak hanya di IHSG dan rupiah, harga obligasi pemerintah RI juga secara mayoritas menguat atau mengalami penurunan imbal hasil (yield) sepanjang pekan lalu. Mengacu pada data Refinitiv, hanya SBN bertenor lima tahun dan 30 tahun yang mengalami pelemahan harga dan kenaikan yield-nya.


Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara turun tipis 0,1 basis poin (bp) ke level 6,502% pada pekan lalu.


Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.


Pasar keuangan Tanah Air yang cenderung positif terjadi di tengah kondisi eksternal yang masih belum stabil. Pekan lalu, memang sempat tersiar kabar bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin akan menarik pasukkannya dari Ukraina dan pejabat Rusia menyebut bahwa "latihan militer" yang dilakukan di perbatasan Ukraina telah selesai.


Akan tetapi kondisi kembali memburuk karena Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) dan Amerika Serikat (AS) tidak melihat adanya pengurangan pasukan yang signifikan, malah sebaliknya. Terbaru Presiden AS, Joe Biden meyakini bahwa Putin telah membuat keputusan untuk menginvasi Ukraina.


Sementara itu dari AS, risalah pertemuan tanggal 25-26 Januari menyebutkan Pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sepakat "jika inflasi tidak turun seperti yang mereka harapkan, akan tepat bagi komite untuk menghapus akomodasi kebijakan lebih cepat daripada yang mereka antisipasi saat ini".


Ketika The Fed menaikkan suku bunga antara tahun 2015 dan 2018, hal tersebut dilakukan secara bertahap-dan tidak pernah lebih dari sekali setiap kuartal. Jika kenaikan suku bunga dilakukan setiap pertemuan The Fed - kira-kira enam minggu sekali - ini merupakan kenaikan paling agresif sejak tahun 2006.


Risalah juga menunjukkan para pejabat melanjutkan pertimbangan mereka tentang seberapa agresif kebijakan untuk mengecilkan portofolio aset US$ 9 triliun mereka, tetapi tidak memberikan banyak petunjuk baru tentang bagaimana hal itu mungkin terjadi akhir tahun ini.


Langkah tersebut merupakan cara lain bagi The Fed untuk memperketat kondisi keuangan guna mendinginkan perekonomian.


Di lain sisi, kasus virus corona (Covid-19) juga masih sangat tinggi, yang mana pekan lalu terdapat penambahan setidaknya 40 ribu kasus setiap harinya. Bahkan pada Rabu lalu sempat menyentuh rekor kasus harian tertinggi di angka 64.718 kasus baru.


Meski kondisi eksternal tidak mendukung, tetapi kabar baik datang dari dalam negeri. Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus di tahun 2021 begitu juga dengan transaksi berjalan (current account) yang sebelumnya selalu defisit dalam satu dekade terakhir.


"Perkembangan NPI secara keseluruhan tahun 2021 mencatat surplus tinggi, sehingga ketahanan sektor eksternal tetap terjaga. Surplus NPI tahun 2021 tercatat sebesar 13,5 miliar dolar AS, jauh meningkat dibandingkan capaian surplus pada tahun sebelumnya sebesar 2,6 miliar dolar AS," tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat.


Pos transaksi berjalan mencatat surplus US$ 3,3 miliar atau 0,3% dari produk domestik bruto (PDB) sepanjang 2021. Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.


Jika dilihat secara kuartalan, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 1,4 milar (0,4% dari PDB) di kuartal IV-2021, lebih dari dari kuartal sebelumnya US$ 5 miliar (1,7% dari PDB) di tiga bulan sebelumnya.


Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial bagi pergerakan rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil ketimbang pos NPI lainnya, yakni Transaksi Modal dan Finansial.


Surplus transaksi berjalan bisa membuat pergerakan rupiah lebih stabil, yang tentunya berdampak bagus bagi perekonomian Indonesia.


Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20220221052507-17-316823/akankah-ihsg-cetak-all-time-high-baru-lagi-tembus-7000

Comments


bottom of page