top of page

Gak Cuma Wall Street, The Fed Juga Bikin Pasar Kripto Ambles



Semarang, PT KP Press - Aset kripto terbesar Bitcoin (BTC) dan pasar kripto secara umum ambles di tengah tekanan aksi jual investor sejak Kamis dini hari (6/1/2022) WIB. Melorotnya aset kripto terjadi seiring dirilisnya notula rapat (FOMC) bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang memutuskan siap menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan akibat lonjakan inflasi.

Penurunan harga aset kripto tersebut juga terjadi mengikuti anjloknya bursa saham Amerika Serikat (AS) alias Wall Street.

Menurut Coinmarketcap.com, Kamis (6/1) pukul 07.27 WIB, harga BTC ambles 5,65% ke US$ 43.457,42. Ini merupakan flash crash alias penurunan harga secara tajam dalam waktu singkat teranyar, setelah BTC sempat mengalaminya pada awal Desember lalu.


Seiring dengan turunnya Bitcoin, nilai likuidasi pun menguap US$ 222 juta atau setara dengan Rp 3,19 triliun (asumsi kurs Rp 14.350/US$) dalam waktu kurang dari satu jam.

Dengan ini, jika dilihat dari rekor tertinggi sepanjang masa US$ 68.789,63/koin pada 10 November 2021, harga Bitcoin sudah anjlok 36,83%.


Tidak hanya BTC, koin raksasa lainnya juga terbenam di zona merah hingga pagi ini. Ethereum (ETH), kripto terbesar setelah BTC, juga ambles 6,76% ke US$ 3.547,75.

Setali tiga uang, Binance Coin (BNB) dan Solana (SOL)-sang pesaing ETH-juga masing-masing terjungkal hingga minus 7,07% dan 8,33%.

Selain itu, token utama lainnya, Cardano (ADA), Terra (LUNA), hingga duo token meme berlogo anjing asal Jepang, SHIBA INU (SHIB) dan Dogecoin (DOGE) juga 'nyungsep' pagi ini.

Token ADA dan LUNA masing-masing turun 6,28% dan 7,73%. Sementara, SHIB dan DOGE secara berturut-turut anjlok 6,99% dan 5,91%.

Kapitalisasi pasar (market cap) kripto secara keseluruhan juga tergerus 5,87% dalam 24 jam terakhir menjadi US$ 2,09 triliun (Rp 41.615 triliun).

"Ini adalah investasi spekulatif dan volatilitas akan menjadi hal yang konstan di sana," ujar David Donabedian, kepala investasi CIBC Private Wealth Management kepada Bloomberg, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (6/1).

Sementara itu, Daren Fonda dari Barron's menjelaskan, aksi jual Bitcoin ini menjadi indikasi lain bahwa BTC bergerak seperti saham teknologi di bursa saham AS ketimbang sebagai penyimpan nilai atas inflasi atau 'emas digital' seperti sebutan pendukungnya.

Para pendukung BTC sebagai emas digital menyebut, pasokan terbatas BTC yang sebanyak 21 juta koin-dengan 18,92 juta koin berhasil ditambang-tidak dapat diturunkan seperti mata uang fiat yang rentan terhadap inflasi dan hilangnya daya beli masyarakat.


Namun, ujar Daren Fonda, dengan adanya flash crash semacam ini, BTC sejauh ini belum bisa bertindak sebagai aset alternatif selain saham. Ini lantaran BTC masih berada di bawah tekanan The Fed dan bank sentral lainnya yang mencoba 'mendinginkan' ekonomi yang mulai memanas.

Aset kripto lain juga, imbuh Daren, tampaknya berkinerja lebih seperti taruhan terhadap saham teknologi baru daripada aset alternatif, "berkorelasi dengan kinerja Nasdaq dalam jangka pendek".

Walaupun demikian, pada Selasa (4/1) lalu, bank investasi raksasa AS Goldman Sachs mengatakan, bahwa Bitcoin kemungkinan akan mengambil pangsa pasar dari emas sebagai "penyimpan nilai". Ini karena aset digital tersebut semakin banyak diadopsi masyarakat. Goldman Sachs, bahkan memprediksi harganya bisa mencapai US$ 100.000 dalam lima tahun.

Flash Crash baru-baru ini dalam dunia kripto terjadi di tengah masa-masa yang bergejolak di pasar keuangan. Melonjaknya inflasi, terutama di AS, memaksa bank sentral untuk memperketat kebijakan moneter, dan berusaha untuk mengurangi likuiditas alias suntikan uang ke pasar yang selama ini turut mendongkrak harga berbagai aset investasi.

Bursa saham AS semakin melorot setelah risalah (minutes of meeting) dari The Fed yang menandai kemungkinan adanya kenaikan suku bunga lebih awal.

Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 1,07%, S&P 500 berkurang 1,94%, dan Nasdaq Composite ambrol 3,34%. Nasdaq membukukan koreksi harian terparah sejak Februari tahun lalu.


Mengutip CME FedWatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan dalam rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Maret 2022 mencapai 64,1%.

"Indikasi The Fed semakin khawatir dengan inflasi akan menciptakan pandangan bahwa mereka akan melakukan pengetatan kebijakan secara agresif pada 2022. Lebih hawkish dari dugaan," kata David Carter, Chief Investment Officer di Lenox Wealth Advisors yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Suku bunga yang lebih tinggi memang dirancang untuk mencegah inflasi melonjak lebih jauh.

Namun, salah satu dampaknya ke pasar modal adalah kebijakan tersebut akan memukul aset spekulatif--saham dan mungkin juga kripto--karena investor memilih investasi yang lebih aman seperti, misalnya obligasi pemerintah AS.


Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20220106081157-17-305012/gak-cuma-wall-street-the-fed-juga-bikin-pasar-kripto-ambles

Comments


bottom of page